Minggu, April 26, 2009

SELINTAS TENTANG ETIKA PROFESI HAKIM INDONESIA

Oleh : ZAINAL AHMAD, SH*

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah
Dunia hukum di Indonesia telah mengalami pasang dan surut. Banyak pihak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang tetap menaruh harapan. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah konkursus tentang etika profesi hukum yang sering dikangkangi oleh mereka-mereka sendiri yang berkecimpung di dalam dunia hukum itu sendiri. Hal ini pula berkaitan dengan profesi hakim sebagai salah satu profesi terhormat di dunia hukum atau dapat juga dikatakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari profesi hukum sekaligus sebagai motor penggerak mesin peradilan.

Sehubungan dengan itu, telah dimaklumi bahwa sejak dulu keluhan-keluhan sering dialamatkan pada dunia peradilan kita. Kalaulah dapat disebut suatu masa, keluhan-keluhan itu terutama terjadi sejak masa orde lama, terus ke masa orde baru, dan tetap berlangsung hingga saat ini.

Ditinjau dari kemampuan masyarakat memberikan reaksi, atau respons terhadap dunia peradilan, ada fluktuasi keluhan-keluhan yang disampaikan. Pada suatu saat masalah indepedensi mengemuka, di saat lain muncul ke permukaan masalah mutu hakim dan mutu putusan.

Semua keluhan di atas bermuara pada pertanyaan tentang profesionalitas hakim yang bersangkutan. Sehingga hampir dapat dikatakan bahwa hakim yang baik adalah hakim yang profesional di bidangnya. Bagir Manan menguraikan sedikitnya ada 5 (lima) perspektif untuk menjadi hakim yang profesional, yaitu : dalam perspektif intelektual sebagai perspektif pengetahuan dan konsep-konsep baik ilmu hukum maupun ilmu-ilmu atau konsep-konsep ilmu lain terutama ilmu sosial; dalam perspektif etik, berkaitan dengan moral; dalam perspektif hukum, sehubungan dengan ketaatan hakim pada kaidah-kaidah hukum baik bersifat administratif maupun pidana; dalam perspektif kesadaran beragama, berkenaan dengan hubungan seorang hakim dengan Tuhannya; dan terakhir dalam perspektif teknis peradilan dimana pengusaan terhadap hukum acara (hukum formil) mutlak diperlukan.

Berkaitan dengan 5 (lima) perspektif hakim yang baik sebagaimana telah dipaparkan secara singkat di atas maka untuk mempersempit pembahasan dalam tulisan ini maka penulis mengkonsentrasikan penulisannya pada hal-hal yang berkaitan dengan hakim dalam perspekif etik. Hal ini tentunya sesuai dengan judul tulisan ini yaitu “Selintas Tentang Etika Profesi Indonesia.”

B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: bagaimanakah etika profesi hakim sebagai bagian dari etika profesi hukum di Indonesia?”


ETIKA PROFESI HAKIM SEBAGAI BAGIAN DARI
ETIKA PROFESI HUKUM DI INDONESIA


A. Pengertian dan Sistematika Etika
Hakim – dimana dan kapan saja – diikat oleh aturan etik disamping aturan hukum. Aturan etik adalah aturan mengenai moral atau atau berkaitan dengan sikap moral. Filsafat etika adalah filsafat tentang moral. Moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan tidak pantas.
Sehubungan teori tentang etika, Darji Darmodiharjo dan Sidharta dalam bukunya berjudul Pokok-Pokok Filsafat Hukum menulis:
“Etika berurusan dengan orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai teori (aliran) etika yang secara global bias dibagi menjadi dua, yaitu aliran deontologist (etika kewajiban) dan aliran telelogis (etika tujuan atau manfaat).”

Di sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika khusus selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Pembedaan etika menjadi etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan oleh Magnis Suseno dengan istilah etika deskriptif.

Lebih lanjut Magnis Suseno menjelaskan bahwa etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan peranan suara hati. Di lain pihak, etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Adapun etika khusus yang individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri sedangkan etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia.

Telah jelas, etika yang berlandaskan pada nilai-nilai moral kehidupan manusia, sangat berbeda dengan hukum yang bertolak dari salah benar, adil atau tidak adil. Hukum merupakan instrumen eksternal sementara moral adalah instrumen internal yang menyangkut sikap pribadi, disiplin pribadi yang oleh karena itu etika disebut juga “disciplinary rules.”

B. Etika Profesi Hukum di Indonesia
Dalam sistematika etika sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, menurut hemat penulis, dapatlah diketahui bahwa etika profesi termasuk dalam bidang kajian etika sosial yakni etika yang mebicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat masyarakat.

Lalu apakah yang dikatakan profesi itu sendiri? Dan bagaimana dengan kata bekerja, apakah berbeda dengan profesi? Profesi berbeda dengan pekerjaan. Sebelum kita mempersoalkan tentang tentang hakikat profesi, terlebih dahulu perlu diungkapkan bahwa manusia sendiri adalah makhluq yang senang bekerja. Pengertian berkerja di sini harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya dalam arti fisik, tetapi juga psikis.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta menyimpulkan bahwa bekerja merupakan kebutuhan bagi setiap manusia, khususnya bagi manusia yang memasuki usia produktif. Dengan bekerja manusia akan memperoleh kepuasan dalam dirinya. Semakin tinggi tingkat kepuasan yang ingin dicapai oleh manusia atas pekerjaan, semakin keras upaya yang diperlukan, dengan kata lain bahwa pekerjaan yang mendatangkan kepuasan yang tinggi itu menuntut persyaratan yang tinggi pula lalu semakin tinggi tuntutan persyaratannya, semakin psikis pula sifat pekerjaannya. Persyaratan-persyaratan yang dilekatkan kepada pekerjaan itu pula yang menyebabkan suatu pekerjaan mempunyai bobot kualitas berbeda dengan pekerjaan lain sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi persyaratan suatu pekerjaan maka semakin berkualitas pekerjaan tersebut. Nah, nilai kualitas pekerjaan yang tertinggi itulah yang disebut dengan profesi.
Beroep, sebagaimana yang dikutip oleh Bagir Manan, mengemukakan bahwa pengertian profesi atau profesional adalah suatu pekerjaan yang dilakukan secara bebas dan tetap untuk memberi pelayanan berdasarkan keahlian tertentu, dan menerima imbalan atas pelayanan tersebut.

Sementara itu Darji Darmodiharjo dan Sidharta mengemukakan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dan memiliki serta memenuhi sedikitnya 5 (lima) persyaratan sebagai berikut :
1. Memiliki landasan intelektualitas,
2. Memiliki standar kualifikasi,
3. Pengabdian pada masyarakat,
4. Mendapat penghargaan di tengah masyarakat,
5. Memiliki organisasi profesi.

Lalu bagaimana dengan etika profesi hukum di Indonesia? Sekilas tampak bahwa pada umumnya etika profesi hukum di Indonesia terkait dengan apa yang disebut dengan intregated criminal justice system, yaitu sistem peradilan pidana secara terpadu yang melibatkan penyidik (polisi dan jaksa), penuntut umum (jaksa) dan hakim. Sehingga muncul anggapan bahwa Pengacara/advokat yang dalam praktek peradilan mempunyai peranan penting seakan berada di luar sistem dimaksud.

Anggapan tersebut terasa sangat janggal bila kita melihat realita kehidupan dunia praksis hukum di Indonesia. Oleh karena itu penulis sependapat dengan Darji Darmodiharjo dan Sidharta yang memaparkan bahwa profesi hukum di Indonesia harus diartikan secara luas meliputi semua fungsionaris utama hukum seperti hakim, jaksa, polisi, advokat/pengacara, notaris, konsultan hukum dan ahli hukum di perusahaan.

Semua profesi hukum di atas terikat dalam suatu aturan baik itu aturan normatif yang bersumber dari hukum positif yang berlaku maupun kaidah-kaidah etika yang tertuang dalam kode etik profesi masing-masing. Kode etik profesi tersebut dibuat secara internal oleh organisasi profesi dan ditegakkan oleh suatu badan kehormatan profesi yang dibentuk dari dan oleh anggota profesi itu masing-masing.

Mengenai hal itu, Bagir Manan menulis bahwa:
“Dalam bentuk yang paling murni, pekerjaan profesi sebagai pekerjaan bebas tidak terikat oleh suatu aturan hukum. Sebelum ada organisasi yang menjalankan kekuasaan pada masyarakat, pekerjaan menyelesaikan sengketa adalah pekerjaan bebas dan sukarela. Umumnya mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati karena pengetahuan dan kearifannya. Mengingat kemungkinan terjadi penyalahgunaan atau tindakan-tindakan tidak profesional yang merugikan maka diperlukan aturan disiplin yang dibuat dan ditegakkan sendiri oleh lingkungan masyarakat profesional yang bersangkutan. Aturan profesional yang dibuat dan ditegakkan sendiri ini disebut aturan etik atau kode etik. Dengan demikian, merupakan keganjilan yang luar biasa kalau ada lembaga yang mengikat lembaga lain. Namun, di masa kemudian, terutama di masa moderen tidak ada seseorang atau lingkungan atau suatu pekerjaan yang benar-benar luput dari aturan hukum. Semua kelompok profesi selain diatur oleh kode etik juga diatur oleh aturan hukum. Akibatnya dalam hal-hal tertentu terdapat tumpang tindih antara aturan etik dan aturan hukum.”

Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana dengan etika profesi hakim sebagai bagian dari profesi hukum di Indonesia sebagaimana akan dipaparkan berikut ini.

C. Etika Profesi Hakim
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, suatu kelompok profesi selain diatur oleh aturan etik/kode etiknya masing-masing, juga diatur oleh aturan hukum. Menurut Pasal 1 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dengan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim di Indonesia berada di Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang terdiri dari badan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer dengan keuasaan mengadili bersifat absolut yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan tersebut dan diatur dalam undang-undang sebagai payung hukum masing-masing badan peradilan tersebut.

Sejatinya, hakim di Indonesia bertindak sebagai penafsir utama norma hukum yang masih bersifat abstrak generalis ke dalam peristiwa konkret yang terjadi. Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh ke dalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.

Sementara itu, dalam ranah etika, kode etik hakim yang dimaksudkan untuk memelihara, menegakkan dan mempertahankan disiplin profesi. Ada beberapa unsur disiplin yang diatur, dipelihara, dan ditegakkan atas dasar kode etik adalah sebagai berikut:
1. Menjaga, memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian profesional.
2. Menjaga dan memelihara integritas profesi.
3. Menjaga dan memelihara disiplin, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu :
a. Taat pada ketentuan atau aturan hukum.
b. Konsisten.
c. Selalu bertindak sebagai manajer yang baik dalam mengelola perkara, mulai dari pemeriksaan berkas sampai pembacaan putusan.
d. Loyalitas.

Lebih jauh dalam kode etik hakim atau biasa juga disebut dengan Kode Kehormatan Hakim disebutkan, bahwa hakim mempunyai 5 (lima) sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud dengan dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap sesama rekan hakim, dan sikap terhadap instansi lain. Di luar kedinasan mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dan dalam masyarakat. Adapun lima perlambang sifat hakim tersebut tercakup di dalam logo hakim sebagai berikut:
1. Sifat Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.
2. Sifat Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai, tertib dan lugas, berpandangan luas dan mencari saling pengertian.
3. Candra (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh pengabdian pada profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya, penuh rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan berwibawa.
4. Sari (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia selalu berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan, bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya.
5. Tirta (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapapun, tanpa pamrih, dan tabah. Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya, tidak berjiwa aji mumpung dan senantiasa waspada.

P E N U T U P

Terdapat beberapa poin penting yang menurut penulis dapat ditarik sebagai kesimpulan terhadap tulisan ini sebagai berikut:
Teori etika deskriptif membagi etika menjadi dua bagian besar yaitu etika umum dan etika khusus. Etika khusus selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial dimana etika profesi termasuk di dalamnya.

Profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dan memiliki serta memenuhi sedikitnya 5 (lima) persyaratan yaitu: landasan intelektualitas, standar kualifikasi, pengabdian pada masyarakat, penghargaan masyarakat, dan memiliki organisasi profesi.

Profesi hukum di Indonesia meliputi semua fungsionaris utama hukum seperti hakim, jaksa, polisi, advokat/pengacara, notaris, konsultan hukum dan ahli hukum di perusahaan.

Hakim, dimana dan kapan saja diikat oleh aturan etik; aturan profesional yang dibuat dan ditegakkan sendiri, disamping aturan hukum.

Hakim mempunyai 5 (lima) sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan yaitu sifat kartika-cakra-candra-sari-tirta.

Akhirnya penulis berharap kiranya para hakim di Indonesia khususnya dan profesi hukum pada umumnya memegang teguh dan mengamalkan kode kehormatan mereka demi terwujudnya cita-cita bangsa ini di bidang hukum.


BAHAN RUJUKAN :
Manan, Bagir. 2007. Menjadi Hakim Yang Baik. Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Sidharta, Darji Damodiharjo. cet. ke-6. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama


-------------------------------------------

*calon hakim pada Pengadilan Negeri Kendari

MENGENAL DELIK-DELIK KEKERASAN TERHADAP ORANG DALAM UNDANG UNDANG NO 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh : ZAINAL AHMAD, SH*

Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dari 56 Pasal yang terurai di dalam 10 Bab dan disertai dengan penjelasan. Undang Undang ini merupakan lex spesialis sekaligus pengembangan hukum dalam regim hukum pidana baik formil maupun materiilnya.

Terdapat 4 (empat) kekerasan yang diancam dengan pidana dalam undang undang ini yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelelantaran rumah tangga. Masuknya penelantaran rumah tangga yang digolongkan sebagai kekerasan tersebut merupakan manifestasi asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender serta asas non diskriminasi yang dianut undang undang ini sekaligus merupakan pengejewantahan politik hukum Indonesia dalam rangka meningkatkan peran serta kaum perempuan di tengah masyarakat. Mengingat 3 (tiga) kekerasan lainnya diketahui telah diatur dalam KUHP.

Kekerasan-kekerasan tersebut di atas hanya menjadi delik dalam undang undang ini apabila pelaku dan atau korban termasuk dalam lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, anak, dan atau orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga baik karena hubungan darah, semenda, persusuan, pengasuhan, perwalian termasuk orang lain yang bekerja sepanjang mereka tinggal serumah dalam jangka waktu tertentu sehingga layak dan patut dapat dianggap sebagai anggota keluarga. Selanjutnya khusus untuk kekerasan fisik, psikis dan seksual yang pelaku atau korbannya adalah suami atau istri merupakan delik aduan.

Salah satu kelebihan yang menonjol dalam undang undang ini yakni kemudahan dalam pembuktian yang hanya membutuhkan keterangan seorang saksi korban saja dianggap cukup sepanjang didukung dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Ketentuan ini jelas membelakangi ketentuan Pasal 185 ayat (2) Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bersesuaian dengan asas “satu saksi bukan saksi.” Kemudahan dalam hal pembuktian tersebut tentunya mutlak diperlukan mengingat lingkup rumah tangga yang diatur oleh undang undang ini dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia masih dianggap tabu untuk dicampuri pihak luar sehingga pada gilirannya akan menyulitkan proses pembuktian.

Kelebihan lainnya adalah mengenai ketentuan tentang pidana pokok berupa pidana penjara atau denda yang jauh lebih berat dibanding ancaman pidana yang diancam dalam KUHP atas kekerasan sejenis. Selain itu dalam KUHP tidak dikenal ancaman pidana denda maksimal, hanya mengatur ancaman minimal saja, sementara Undang Undang Penghapusan KDRT mengenal ancaman denda maksimal tersebut.


PERUMUSAN DELIK

Pasal 44

ayat (1)
- setiap orang;
- melakukan perbuatan kekerasan fisik;
- dalam lingkup rumah tangga.

ayat (2)
- sebagaimana rumusan delik ayat (1);
- mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat.

ayat (3)
- sebagaimana rumusan delik ayat (2);
- mengakibatkan matinya korban.

ayat (4)
- sebagaimana rumusan delik ayat (1);
- dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya;
- tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.

Pasal 45

ayat (1)
- setiap orang;
- melakukan perbuatan kekerasan psikis;
- dalam lingkup rumah tangga.

ayat (2)
- sebagaimana rumusan delik ayat (1);
- dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya;
- tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.

Pasal 46
- setiap orang
- melakukan perbuatan kekerasan seksual
- terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga

Pasal 47
- setiap orang;
- memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya;
- melakukan hubungan seksual dengan orang lain;
- untuk tujuan tertentu.

Pasal 48
- sebagaimana rumusan delik dalam Pasal 46 atau Pasal 47;
- mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.

Pasal 49

huruf a
- setiap orang;
- menelantarkan orang lain, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut;
- dalam lingkup rumah tangganya.

huruf b
- sebagaimana rumusan delik pada huruf a;
- mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

ANCAMAN PIDANA (PIDANA POKOK)

Pasal 44
ayat (1) pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

ayat (2) pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)

ayat (3) pidana penjara paling lama 15 (limabelas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah)

ayat (4) pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)

Pasal 45
ayat (1) pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,- (sembilan juta rupiah).

ayat (2) pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Pasal 46 pidana penjara paling lama 12 (duabelas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47 pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- (duabelas juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48 pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49 pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).


ANCAMAN PIDANA (PIDANA TAMBAHAN)

Ketetentuan Pasal 50 undang undang ini menggariskan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak terentu dari pelaku.
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

-------------------------------------------

*calon hakim pada Pengadilan Negeri Kendari